The Story of Broken bones

Sanela Fadillah
2 min readDec 18, 2020

--

Gue yakin sebagian besar orang yang sudah merasakan patah tulang, pasti punya cerita dan kisahnya tersendiri. Ini kisah gue, kisah patah tulang yang gue rasakan di telapak tangan kiri akibat ketidakhati-hatian dalam berkendara yang gue lakukan. Pada suatu hari minggu pagi yang cerah di penghujung November, gue ditabrak tetangga gue di perempatan gang.

Sebelum tabrakan itu terjadi, nenek gue selalu berpesan “hati-hati di jalan ya, nduk”. Gue rasa gue cukup hati-hati sampai tetangga gue nerabas motor gue dari samping kiri. Udah cukup pasrah ketika jatuh bakal masuk parit. Ternyata engga, selepas jatuh dari motor gue masih bisa bangun dan berbicara. Tapi, tangan gue rasanya kayak keseleo dan langsung bengkak dan jari-jari gue engga bisa ditekuk sama sekali.

Jujur ketika kejadian itu terjadi, gue engga panik atau mau menyalahkan tetangga gue, atau tiba-tiba merasa dunia engga adil karena kenapa jatuh kayak gitu doang gue sampai patah di telapak tangan. Yang panik adalah keluarga gue, tante gue langsung panik dan bawa gue ke UGD rumah sakit terdekat. Ya, ternyata tulang gue di bagian telapak tangan kiri patah.

Singkat cerita, gue akhirnya operasi untuk meluruskan tulang gue yang mlengse. Setelah operasi dan pemulihan 2 minggu lebih, gue merasa amat engga berdaya dengan kondisi tangan kiri gue yang engga bisa bergerak. Engga marah sama keadaan, lebih kayak marah sama diri sendiri dan gue mulai maksa tangan kiri gue untuk segera pulih. Setelah perbannya lepas, masalah selanjutnya adalah bekas luka pasca operasi garis sepanjang 5cm dan bengkak di sekitar luka yang hampir sebulan tidak kunjung mengempis.

Gue merasa luka ini jelek banget, luka ini merepotkan orang-orang yang di sekitar gue, dan luka ini pernah menghambat aktifitas gue. Semakin gue marah justru lukanya makin terasa sakit. Kayanya engga ada hal lain yang bisa gue lakukan selain berdamai sama diri gue sendiri, mulai bersikap yaudahla dengan luka yang engga bisa hilang, berdamai dengan perasaan bersalah.

Yang gue sadari setelah berminggu-minggu ini adalah, gue engga sendirian. Keluarga gue selalu ada buat gue, meskipun ibu bapak jauh di Lampung, mereka selalu nanyain kondisi gue, Ara yang selalu nemenin sejak masuk sampai keluar rumah sakit dan harus berurusan dengan pihak pulici dalam proses klaim asuransi, tante dan nenek gue yang selalu membukakan pintu rumahnya, Hafidz yang setiap hari selalu ada untuk gue di sela-sela kesibukannya, dan temen-temen yang mendoakan gue untuk lekas sembuh.

Cerita ini emang sampah banget, karena cuma keluhan dan mungkin terlalu mendramatisir keadaan. Tapi, setidaknya perasaan ini pernah ada di dalam diri gue, dan gue memvalidasinya, yang artinya gue masih terus bertumbuh sebagai manusia.

--

--

Sanela Fadillah
Sanela Fadillah

Written by Sanela Fadillah

My mind speak louder than my words.

Responses (1)